![]() |
| Nurjaya Kepala Desa Kuala Selat Kabupaten Indragiri Hilir |
ZONAKRIMINAL24.COM | Kuala Selat, Indragiri Hilir — Dugaan permainan kotor dalam pengelolaan program rehabilitasi mangrove di Desa Kuala Selat memicu gelombang kemarahan masyarakat pesisir. Program nasional yang sejatinya dirancang untuk menyelamatkan warga dari abrasi, justru dituding berubah menjadi ladang bisnis keluarga dan kroni Kepala Desa Nurjaya. Ribuan hektare kebun kelapa rakyat dilaporkan tenggelam menjadi rawa dan lumpur, sementara korban abrasi tak kunjung mendapatkan kejelasan ganti rugi.
Temuan investigasi menunjukkan proyek mangrove diduga dikendalikan penuh oleh Kepala Desa melalui jaringan keluarga dan perangkat desa. Istrinya, Nurizawati, disebut menjabat sebagai Ketua Kelompok Tani/Pokmas, sementara posisi strategis lainnya dikabarkan dipegang keluarga dekat dan oknum ASN yang mengatur operasional lapangan. Ironisnya, mayoritas pekerja proyek justru didatangkan dari luar desa, sedangkan masyarakat lokal yang kehilangan lahan akibat abrasi hanya menjadi penonton. “Yang kerja semua orang luar, Bu. Kami yang korban abrasi hanya nonton saja,” ungkap warga dalam rekaman wawancara resmi.
Warga menyebut lebih dari 500 hektare lahan telah digarap pada tahap awal dan terus meluas tanpa sosialisasi, tanpa musyawarah desa, dan tanpa persetujuan pemilik lahan. Mereka mengaku tidak pernah menerima informasi resmi mengenai kompensasi, dan nilai ganti rugi yang beredar diduga dibagikan secara sewenang-wenang. “Tidak ada komunikasi dulu, tidak ada konfirmasi. Kami dipaksa setuju,” ujar warga. Lebih mengejutkan, nilai kompensasi disebut dibagi berdasarkan kedekatan personal, bukan luas lahan. “Ada yang dikasih Rp300 ribu, ada Rp3 juta. Suka-suka mereka,” tegas sumber lain.
Warga juga menduga adanya permainan anggaran dalam skema padat karya. Mereka mengungkap indikasi markup material dan pembengkakan biaya pengadaan. “Anggaran 20 juta, harga papan plank saja Rp47.000. Indikasi markup,” beber narasumber investigasi di lapangan. Kelompok-kelompok legalitas seperti KTH Mekar Bersama, KTH Selat Berseri, KUPS Madu Kelulut Sejahtera, dan BDPN dituding hanya menjadi formalitas administratif, sementara kendali sebenarnya tetap berada di tangan Kepala Desa dan istrinya.
Situasi ini dinilai telah menggerus nilai utama program nasional seperti BRGM, M4CR, program Padat Karya Mangrove, dan KUPS/KTH yang seharusnya menjunjung asas prioritas bagi warga terdampak, transparansi anggaran publik, dan bebas dari konflik kepentingan serta praktik nepotisme. Program yang harusnya menjadi penyelamat justru diduga berubah menjadi monopoli keluarga dan instrumen kapitalisasi penderitaan korban abrasi.
Jika dugaan masyarakat terbukti melalui audit dan penegakan hukum, kasus ini berpotensi melanggar UU Tipikor (UU 20/2001), UU Desa No. 6/2014, serta delik nepotisme dan penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan potensi kerugian negara serta tindakan korupsi struktural. Masyarakat mendesak audit menyeluruh Inspektorat dan APIP, penegakan hukum oleh Kejaksaan, Polda, hingga KPK, serta pembekuan anggaran sebelum penyidikan tuntas.
Warga kini memohon intervensi langsung Presiden Prabowo Subianto dan Aparat Penegak Hukum pusat. “Kami korban tapi hak kami dirampas. Tolong bantu kami, Pak Presiden. Kami hanya ingin keadilan,” seru warga dalam rekaman suara yang diperoleh redaksi. Mereka menuntut audit total program mangrove, investigasi dugaan korupsi dan nepotisme, serta kejelasan ganti rugi lahan secara adil.
Menanggapi polemik yang mencuat, Kepala Desa Nurjaya memberikan konfirmasi melalui pesan WhatsApp pada Senin, 1 Desember 2025. Ia menyatakan bahwa program merupakan kegiatan BRGM dan M4CR yang dikelola langsung oleh kelompok masyarakat dan bukan oleh dirinya sebagai Kepala Desa. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada ganti rugi lahan karena wilayah tersebut dianggap tidak lagi produktif dan telah menjadi laut akibat abrasi. Mengenai dana kompensasi Rp300 ribu hingga Rp3 juta, ia mengklaim bahwa dana tersebut adalah sisa pembayaran HOK pekerja, bukan kompensasi lahan. “Tidak ada hubungannya kegiatan ini dengan saya sebagai Kepala Desa. Ini murni kegiatan publik,” tulisnya dalam pesan resmi.
Redaksi telah meminta dokumen pembanding berupa struktur kelompok, daftar pekerja, dan realisasi anggaran resmi untuk verifikasi publik, dan masih menunggu penyerahan data tersebut.
Jika dugaan dan temuan di lapangan terbukti melalui audit dan penyidikan, skandal Kuala Selat berpotensi menjadi salah satu kasus nepotisme dan monopoli proyek mangrove terbesar di wilayah pesisir Indragiri Hilir, di mana korban abrasi kembali menjadi korban penindasan oleh kekuasaan desa.
Editor : jimmi
